Jumat, 27 Februari 2015

kisah inspirasi kakek dan pencuri pepayaSaya ingin mengawali renungan kita kali ini dengan mengingatkan pada salah satu kisah kehidupan yang mungkin banyak tercecer di depan mata kita. Cerita ini tentang seorang kakek yang sederhana, hidup sebagai orang kampung yang bersahaja. Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang.

Kakek itu begitu bersedih, hingga istrinya merasa heran. “Masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau demikian murung” ujar sang istri.
“Bukan itu yang aku sedihkan” jawab sang kakek,
“Aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang. Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya..”
“Dari itu Bune” lanjut sang kakek, “saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita, mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi mengambil yang satunya”.
Namun saat pagi kembali hadir, ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih di tempatnya.

Di sore harinya, sang kakek kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah yang telah mencuri pepayanya.

“Sebenarnya” kata sang tamu, “di malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar untuk Anda”.

Hikmah yang bisa diambil dari kisah inspirasi diatas, adalah tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan dan cara pandang positif terhadap kehidupan.

Mampukah kita tetap bersikap positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu “musibah”?

"Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta."

Sumber : http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/kisah-kakek-dan-pencuri-pepaya.html
kisah-kisah inspirasi terbaik
Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.

Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.

Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.

”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.

Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:

Duhai dekatnya surga

Harum dan dingin minumannya

Orang Romawi telah dekat dengan azabnya

Mereka kafir dan jauh nasabnya

Jika bertemu, aku harus membunuhnya

Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.

Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.

Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:

Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!

Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa

Bila manusia bersemangat dan bersuara

Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga

Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:

Wahai jiwaku

Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati

Ini adalah takdir kan telah kau hadapi

Jika kamu bernasib seperti mereka berdua

Berarti kamu mendapat hidayah

Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!

Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.

Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.

Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bi shawab.

Sumber : www.kisahinspirasi.com/2012/09/takut-itu-wajar.html

kisah inspirasi islami

Judul di atas adalah sikap Rasulullah ketika terjadi peristiwa yang ibarat danau, airnya telah dibuat beriak oleh satu peristiwa yang terjadi. Para sahabat di sekeliling beliau, siap memberikan respon dan reaksi, tapi respon dan reaksi yang paling baik datang dari Rasulullah. Tidak kurang, tidak lebih, secukupnya tapi mendalam, kena.

Satu hari, di Masjid Nabi, Rasulullah dan para sahabatnya sedang berkumpul dalam halaqah, majelis ilmu, membahas sesuatu. Masjid Nabi, lantainya masih pasir, tak ada ubin, apalagi sajadah. Dan mereka duduk, shalat, ruku’ dan sujud di atasnya.

Ketika kelompok manusia terbaik ini berkumpul dan mempelajari ilmu dan perintah Allah, tiba-tiba datang seorang lelaki Badui, lelaki desa nan udik ke dalam Masjid Nabi. Kita semua mengetahui kisahnya. Sebagian besar kaum Muslimin bahkan telah hapal ujung ceritanya. Tapi mari, sekali lagi kita belajar dari sudut pandang yang sedikit lain.

Lelaki Badui ini, tak datang untuk bergabung dalam halaqah nan mulia. Lelaki ini terus berjalan, menuju ujung ruangan, di pojok bangunan Masjid Nabi. Di sana, dia tengok kanan dan kiri. Mengangkat kainnya dan berjongkok di ujung ruangan untuk menuntaskan hajatnya. Lelaki Badui ini buang air kecil, buang air kecil!

Para sahabat yang berada di masjid dan sedang berhalaqah, seketika bergejolak. Mereka hendak berdiri, entah dengan niat melakukan apa di hati masing-masing. Para sahabat marah. Dan kemarahan mereka sangat wajah, ini Masjid Nabi, bukan tempat buang hajat. Para sahabat berhamburan, berdiri, segera berjalan menghampiri lelaki Badui yang sedang menuntaskan hajatnya tadi. Di wajah-wajah mereka, para sahabat mulia itu, nampak kemarahan yang siap meledak.

Tapi Rasulullah memanggil dan menenangkan semua sahabat yang sudah siap mengambil aksi. “Jangan, biarkan dia. Jangan menganggunya. Biarkan dia menyelesaikan kencingnya,” ujar Rasulullah saw.

Setelah lelaki Badui ini menyelesaikan urusannya, Rasulullah memanggilnya dengan nada lembut. Padahal, para sahabat, semuanya, sudah berada pada titik didih. Lelaki Badui ini datang dan berjalan pelan menghampiri  Rasulullah. Beliau menangkap atmosfer kemarahan yang mengepungnya. Tapi hanya Rasulullah yang ditujunya.

Dengan halus, ketika lelaki Badui ini berada di depan beliau, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya, masjid ini dibangun bukan untuk itu (maksudnya untuk buang hajat). Masjid ini dibangun untuk shalat dan membaca al Qur’an.”

Hanya itu, tidak kurang, tidak berlebihan. Singkat, tapi tepat sasaran.

Lelaki Badui ini paham, dan lalu pergi meninggalkan Masjid Nabi. Tak lama waktu shalat tiba, dan Rasulullah memimpin para sahabat untuk menunaikan shalat. Dan yang menarik, lelaki Badui ini bergabung bersama untuk shalat jamaah. Dan Rasulullah pun memimpin shalat.

Seperti biasa, Rasulullah melakukan shalat. Sampai ketika bangkit ruku’, Rasulullah mengucapkan , “Sami’Allahu liman Hamidah.” Allah mendengar orang yang memuji-Nya.

Para sahabat kemudian menjawab dengan ucapan, “Rabbana walakal Hamdu.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu.

Di luar dugaan, lelaki Badui, ya betul, lelaki Badui yang tadi, menambahkan doanya lebih panjang dari para sahabat.  “Rabbana walakal Hamdu. Allahumarhamni wa Muhammadan, wala Tarham ma’ana ahadan.”  Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu. Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad. Dan jangan sayangi orang-orang selain kami berdua.

Doa ini dibaca dengan lantang, sampai-sampai Rasulullah mendengarnya. Dan tentu saja, para sahabat yang ada juga mendengarnya. Memang lelaki Badui ini, yang seringkali disebut tidak berpendidikan dan memilik karakter unik, telah menyalahi rukun dari bacaan shalat. Tapi pelajarannya yang seringkali kita tidak perhatikan adalah, lihatlah isi doanya. Doa yang mencerminkan, bahwa Rasulullah telah menguasai hatinya. Doa yang memperlihatkan, bahwa dia juga menolak, sekurang-kurangnya tak mau dengan para sahabat yang ada.

Lelaki Badui ini, yang mohon maaf, sekali lagi kelompok ini sering  disebut sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpendidikan, telah menempatkan Rasulullah di tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, dalam pikirannya, dalam doanya, dalam permintaannya kepada Allah. Sehingga dia berharap hanya Rasulullah dan dirinya saja yang dirahmati Allah. Dan tentu saja, ketika seseorang menempati posisi yang istimewa, maka istimewa pula letak nasihatnya.

Selepas shalat, Rasulullah berbalik badan. Lalu beliau memanggil lelaki Badui ini dan berkata singkat, “Engkau telah membatasi sesuatu yang sangat luas.” Ya, singkat, sesuai dengan kebutuhan bagi seorang lelaki Badui yang tentu saja tingkat pemahamannya tidak sama dengan sahabat-sahabat utama seperti Abubakar, Umar bin Khattab atau sahabat yang lain.


Sumber : http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/secukupnya-tapi-mendalam.html
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?

"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita – cita penyempurnaan iman "

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".

Sumber : http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/kisah-inspirasi-jawaban-elegan-dari.html
Hasil gambar untuk Musuh
Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.
Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.
“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.” “Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”
“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.
Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.
Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.
“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”
“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya. *** Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya:
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu.”(QS. At Taubah :32).
Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.
Begitulah sikap musuh-musuh Islam. Lalu, bagaimana sikap kita…?
Semoga kita bisa terhindar dari tipu daya dunia yang menyebabkan kita malah jauh dari Pemilik Dunia (Allah Swt). Ya Allah lindungi kami, dan bimbing kami agar kami selalu berada di jalan-Mu… Aamiin ya Rabbal’alaamiin

Sumber : https://desaislam.wordpress.com/category/kisah-inspiratif/

Hasil gambar untuk Pedagang hewan kurban

Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan mampu membeli. Namun tetap saya coba hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silahkan bu…”, lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya,”kalau yang itu berapa Pak?”.
“Yang itu 700 ribu bu,” jawab saya. “Harga pasnya berapa?”, Tanya kembali si Ibu. “600 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah…… . “Tapi, uang saya hanya 500 ribu, boleh pak?”, pintanya. Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya, akhirnya saya berembug dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.
Sayapun mengantar hewan qurban tersebut sampai kerumahnya, begitu tiba dirumahnya, “Astaghfirullah……, Allahu Akbar…, terasa menggigil seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya dirumah gubug berlantai tanah tersebut. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik,. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.
Diatas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak…..bangun mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yg sedang rebahan sampai akhirnya terbangun. “Mak, saya sudah belikan emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak….”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap, “Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berqurban”.
“Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama ibu saya….”, kata ibu itu
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa , “Ya Allah…, Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan Imannya begitu luar biasa”.
“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu,”sudah bu, biar ongkos kendaraanya saya yang bayar’, kata saya.
Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya…….
Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan, kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup. Berapa banyak diantara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berkurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun aksesoris yg menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban. Namun selalu kita sembunyi dibalik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan.

SUmber : https://desaislam.wordpress.com/2012/10/12/kisah-dari-seorang-pedagang-hewan-qurban/#more-217
kapal karamAda dua saudagar, salah satunya berasal dari Kuwait dan satunya lagi berasal dari Saudi Arabia. Mereka adalah dua sahabat karib yang dipersatukan oleh satu agama : Islam. diantara mereka sama-sama saling mencintai, sehingga mereka menjadi dua saudara yang masing-masing mencintai yang lainnya seperti mencintai diri sendiri. Mereka bersepakat untuk melakukan apiliasi dalam usaha bisnis yang bisa mempererat tali persaudaraan ini dan mengokohkan bangunannya. Allah telah membimbing mereka dalam bisnis yang legal, dan keduanya menjadi teladan yang baik bagi Ukhuwah Islamiyah yang tulus dan sejati. Bisnis mereka pun maju pesat dan menjadi besar. Banyak sekali proyek yang mereka garap, dan atas karunia Allah Ta’ala proyek-proyek itu meraup keuntungan yang sangat banyak.
Pada suatu hari, keduanya duduk berbincang-bincang mengenai berbagai hal diantara mereka. Saudagar yang berkebangsaan Kuwait berkata kepada rekannya, “Kenapa kita tidak mengasuransikan bisnis kita ini?”
Rekannya itupun menimpali ucapannya, “Buat apa kita mengasuransikan bisnis kita?”
Dia berkata “Kebanyakan komoditi kita datang melalui jalur laut dan tentu terhadap insiden. Seandainya saja terjadi, semoga saja tidak- sesuatu yang tidak diinginkan terhadap komoditi kita, maka kita tidak akan mengalami kerugian apa pun, dan perusahaan asuransi akan mengganti semua kost biayanya. Lalu apa pendapatmu?”
Rekannya berkata kepadanya, “Tidak tahukah kamu bahwa kita sudah mengasuransikan seluruh komoditi kita.”
Dia bertanya, “Kepada siapa?”
“Kepada Allah Ta’ala” Jawab rekannya.
Dia berkata, “Sebaik-baik Dzat yang dipasrahi. Akan tetapi sikap kehati-hatian itu harus”.
Rekannya kembali berkata, “Bukankah kita sudah mengeluarkan zakat bisnis kita?”
Dia menjawab, “Benar.”
“Kalau begitu, janganlah kamu takut pada apa pun. Ini merupakan asuransi terhadap komoditi kita yang paling aman. Bertawakallah kepada Allah dan jangan panik”. Ujar rekannya kepadanya.
Dia pun berucap, “Aku beriman kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya.”
Hari-hari berlalu sedang bisnis mereka semakin maju dan berkembang. Suatu hari, salah satu kapal kargo mengangkut banyak sekali barang komoditas. Di antaranya barang dagangan kedua saudagar ini. Sebelum sampai ke pelabuhan, kapal itu mengalami kecelakaan dan akibatnya kapal pun karam. Seseoreang memberi tahu dua saudagar itu, dan seketika mereka pun tergopoh-gopoh menuju pelabuhan. Di sana, keduanya berdiri mengamati aktifitas penyelamatan. Seorang dari mereka tetap tenang dan tak gundah hatinya, sedang yang lainnya terlihat sedikit panik dan gusar. Rekannya berkata kepadanya, “Kamu jangan panik, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Setelah tuntas semua prosesi penyelamatan. Apa yang terjadi? Sungguh amat mencengangkan. Hampir seluruh barang komoditi tenggelam dan rusak. Kecuali barang dagangan kedua rekan bisnis ini. Barang dagangan mereka bisa dikeluarkan dari kapal dalam kondisi baik, tak tersentuh apa pun. Rekannya berujar kepadanya, “bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa barang dagangan kita dijamin Dzat yang tak akan menyia-nyiakan semua titipan dan amanat.
Dia berkata, “Kamu benar, wahai sobatku”.
“Demi Allah, kepercayaanku pada Allah tidak pernah pudar, dan aku pun tidak pernah merasa cemas dan panik. Aku percaya sepenuhnya bahwa Allah Ta’ala akan menyelamatkan barang dagangan kita. Hal itu karena kita rajin mengeluarkan zakat dengan penuh kerelaan dan keimanan, dan ini merupakan jaminan terbesar dan asuransi paling kuat.” Ujar rekannya kepadanya.
Dia pun berkata, “Dan aku juga demikian, meski aku merasa sedikit cemas”.
Akan tetapi, bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana seluruh komoditi tenggelam kecuali komoditi kedua saudagar ini?
Kejadiannya adalah pada waktu semua barang komoditi diangkut ke atas kapal, maka barang dagangan kedua saudagar ini dikelilingi karung-karung berisi tepung dalam jumlah yang besar. Ketika kapal tenggelam dan air mulai masuk ke dalamnya, maka air itu pun merusak seluruh komoditi yang ada selain komoditi kedua saudagar ini. Air tersebut tidak sampai kepadanya karena terhambat dan terhalang oleh karung-karung yang berisi tepung tadi. Mengingat, pada saat air sampai kepada karung-karung yang berisi tepung itu, maka tepung itu sedikit larut lalu melahap air itu dan dia pun menjadi keras. Tepung itu menjadi seperti tembok yang membentengi komoditi tersebut sehingga -atas izin Allah- air pun tidak sampai menjangkaunya.
Kedua saudagar ini adalah dua insan yang beriman kepada Allah dengan tulus. Kepercayaannya kepada Allah sangat kuat, takkan pernah goyah selamanya. Keduanya senantiasa menunaiokan hak Allah atas diri mereka dengan mengeluarkan zakat. Hal itu merupakan asuransi yang paling utama dan paling kuat. Maka, Allah pun melindungi harta mereka.
Allah berfirman yang artinya, “Dan tetapkanlah untuk kami di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman, ‘siksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmatKu untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf : 156).
Rasulullah bersabda, yang artinya, : “Bentengilah harta kalian dengan zakat, obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah, dan hadapilah cobaan dengan do’a.” (HR. ath-Thabrani).


Sumber : Serial Kisah Teladan kumpulan Kisah-Kisah Nyata, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Qahthani. Cet. Darulhaq


Ibnu Athaillah mengatakan, "Ada yang berkata, 'Bersikaplah kepada Allah seperti anak kecil kepada ibunya. Setiap kali ditolak sang ibu, ia tetap bersimpuh di hadapannya karena tidak mengenal selainnya.'"
--Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-'Arus


Sikap semacam ini sama dengan tingkatan tawakal kepada Allah, yaitu ketika seorang hamba bersikap kepada Allah seperti anak kecil kepada ibunya.
Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya sehingga ia tidak meminta pertolongan kecuali darinya, serta tidak bersandar kecuali kepadanya. Ketika melihat sang ibu, ia akan terus membuntutinya. Ketika mendapat kesulitan di saat ibunya tidak ada, kata pertama yang diucapkan lisannya adalah "Ibu!" Dan yang terlintas pertama kali dalam benaknya adalah sosok ibunya. Hanya kepada ibunyalah ia mengadu. Si anak sangat meyakini pemeliharaan, perlindungan, jaminan, dan kasih sayang ibunya.

Jika anak kecil itu diminta menjelaskan sikapnya yang terikat kepada ibunya, ia mampu untuk menuturkannya. Namun, sikap dan perilakunya itu berada dalam kesadaran dan pengetahuannya. Sama halnya, pikiran orang yang bertawakal kepada Allah akan selalu tertuju kepada-Nya. Ia juga akan selalu mencari dan mendekati-Nya, kemudian bersandar dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya.

Ia pasti mencintai Allah sebagaimana anak kecil mencintai ibunya. Itulah pengertian dan hakikat tawakal. Seorang hamba semestinya bertawakal kepada Allah sebagaimana seorang anak kecil tawakal kepada ibunya. (Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum Al-Din).
 
Sumber : http://islamitubaik.blogspot.com/2015/01/jadilah-seperti-anak-kecil.html#more


Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.

“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

Sumber : http://islamitubaik.blogspot.com/2014/01/kisah-inspiratif-islam-sedekah-vs.html

Hasil gambar untuk Sang ayah dan anaknya

Pada suatu hari seorang pria pulang terlambat setelah selesai dari pekerjaannya, seperti biasa ia sangat lelah dan terlihat tak bersemangat, dan ia melihat putranya menunggu di depan pintu.

"Ayah apakah aku bisa menanyakan sesuatu?".
"Tentu saja, apa yang terjadi?".
"Berapa banyak yang Ayah dapatkan hari ini?".
"Ini bukan urusanmu!".

Dalam keadaan marah, "Memang ada apa denganmu?!".

"Aku hanya ingin tahu. Silakan katakan, berapa banyak yang Ayah dapatkan per jam?".
"$500. Lalu apa?".

Anak (menatapnya dengan tatapan yang sangat serius), "Ayah, bisakah Ayah memberikan saya $300?".

Ayah, "Apa kamu bertanya seperti itu hanya untuk mendapatkan berbagai jenis mainan bodoh?! Sekarang segera pergi ke kamarmu! Kamu tidak bisa menjadi egois seperti itu! Saya bekerja sepanjang hari dan sangat lelah, dan kau begitu bodoh!"

Lalu sang Anak menangis, sambil tertunduk ia pergi ke kamar dan menutup pintu, tetapi sang Ayah tetap berdiri di pintu dan marah atas permintaan anaknya. "Berani-beraninya dia bertanya tentang gaji, kemudian meminta uang?".

Tapi setelah beberapa saat dia tenang dan mulai berpikir jernih, "Mungkin dia ingin membeli sesuatu yang sangat penting. Tapi waktu aku seusianya, aku belum pernah meminta uang sebesar $300". Lalu ia memutuskan untuk menemui anaknya.

Ketika ia masuk ke kamar anak-anak, anaknya sudah berada di tempat tidur.

"Apakah kamu tidur nak? Dia bertanya.

"Tidak, Ayah. Aku hanya berbaring", kata sang Anak.

"Ayah pikir, Ayah sudah berkata terlalu kasar untukmu"

"Ayah mengalami hari yang buruk, dan aku baru saja dipecat. Maafkan Ayah. Mari ke sini, kamu akan mendapatkan apa yang kamu minta".

Anak itu duduk dan tersenyum.

"Oh!!! Terima kasih Ayah", katanya sangat gembira.

Kemudian Ia merangkak di bawah bantal dan mengeluarkan beberapa kertas lusuh yang disimpannya. Ayahnya melihat bahwa sang Anak rupanya sudah memiliki uang, lalu ia hampir kembali merasa marah. Sang Anak menghitung uang itu dengan hati-hati, lalu menyusunnya dengan rapi.

"Mengapa kamu meminta uang, jika kamu sudah memilikinya?" Ayah bergumam.

"Karena tadi belum cukup, tapi sekarang sudah cukup" jawab sang Anak.

"Ayah, sudah memiliki $500. Dapatkah saya membeli satu jam dari waktumu? Silahkan datang untuk bekerja besok, saya ingin Ayah ada untuk makan malam bersama kami".

 Sumber :  http://benuaborneo.blogspot.com/2013/03/kisah-inpiratif-ayah-dan-anak.html

Hasil gambar untuk surprise ulang tahun
Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku mempunyai dua kakak laki-laki. Kakak ku yang pertama baik,lucu,cuek, dan seru. Lalu kakak yang kedua lucu,baik,perhatian, aneh, dan pastinya seru. Aku biasanya dipanggil inting oleh kakakku.
Hari “Ulang Tahun” biasanya memang menjadi hari yang ditunggu – tunggu. Karena dihari itulah biasanya terlontar limpahan ucapan selamat dan doa-doa yang turut serta dipanjatkan. Doa-doa dan ucapan selamat dari orang terdekatlah yang biasanya menjadi pelengkap sekaligus sepesial dihari ulang tahun. Dihari ulang tahun pula biasanya menjadi moment atau saat-saat yang tepat untuk seseorang menjahili orang yang berulang tahun, bahkan menjadi moment yang sangat tepat untuk seseorang memberi kejutan indah yang berkesan yang nantinya mungkin tak akan terlupakan.
Terkadang memang banyak hal aneh dan unik terjadi yang dilakukan orang-orang untuk memperingati hari kelahiran seseorang atau yang disebut hari ulang tahun.
Kembali pada pengalaman yang baru saja aku lewati,pengalaman pribadi yang saat ini masih terasa hangat dan tergambar jelas dalam angan. Tanggal 16 November 2013 kakak memberi surprise kepadaku padahal ulang tahunku masih lama yaitu tanggal 16 Desember.Mungkin kakak mengira aku berulang tahun pada bulan November.
Pukul 23.00 kakak bersama teman-temannya pulang dari kampus.Kemudian Kakak dan teman-temannya bercanda gurau didepan rumah ( biasalah anak laki-laki sukanya begadang).Saat itu aku tertidur pulas di kamar karena pada pagi harinya aku agak nggak enak badan dan hanya bisa terbaring diatas kasur dan tumpukan bantal. Hanya dapat memandang layar telepon genggam dan layar televisi. Diliputi rasa mual, pening, dan segala macam rasa yang tidak dapat aku ungkapkan lagi.
Karena didepan rumah sangat ramai Aku terbangun dan beranjak dari tempat tidur untuk melihatnya setelah itu Aku masuk kekamar dan melanjutkan tidur lagi.
Jam berbunyi tepat pukul 00.00, kakak bersama teman-temannya segera masuk kerumah. Teman-teman kakak menunggu diruang tamu, kakak membuka pintu kamar tidurku dan membangunkanku pelan-pelan.
“ Dekbangun dek,” kata kakak
Aku menghiraukannya
Ting bangun Ting ” ucap kakakku sekali lagi
“ Hhnnggg...” balasku
Bersamaan dengan itu aku mencoba membuka kedua mataku pelan-pelan, tetapi tetap saja tidak bisa karena pada malam itu aku agak nggak enak badan.
“ Ayolah cepet bangun.” Kata kakak
Sampai pada akhirnya aku terbangun dari tidurku dan
dihadapkan pada sebuah kenyataan.  Dengan sangat terpaksa Aku bangun dengan wajah cemberutkarena kondisi fisikku yang kurang baik saat itu, semakin menjadikan hari itu menjadi hari yang sangat menjengkelkan.
kemudian tanganku ditarik sama kakak. Tak lama kemudian terdengar sebuah lagu Happy Birthday yang sangat merdu dinyanyikan oleh teman-temannya kakak yang diiringi gitar.
Tepat di depanku ada lilin berbentuk lingkaran,disampingnya juga terdapat coklat dan kertas yang penuh dengan tulisan Happy Birthday dan doa-doa untukku. Kejutan manis yang ternyata telah mereka siapkan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya, membuat aku merasa semua itu hanyalah sebatas mimpi dari buah tidurku malam itu.Acara tiup lilin dan potong kue berlangsung di ruang tamu dengan romantisnya kakak menyuapiku sepotong kue begitu pun sebaliknya aku menyuapi dia. Lalu tak lupa aku berikan sepotong kue untuk teman-teman kakak. Bahagianya dia menerima itu dari aku. Aku pun ikut bahagia.
Namun, beberapa kali aku tersadar dan menyadari bahwa semua itu nyata. Dan tanpa aku sadari ada air yang menetes dipipi ku, sebagai wujud air mata bahagia yang saat itu tidak terbendung lagi.Namun tidak hanya aku yang terkejut, sampai-sampai kedua orang tuaku pun ikut terkejut dan keluar dari kamar karena pada saat itu suasana sangat ramai.
          ” Ada apa ini? ” tanya mama
           ” Nggak ma, ini cuma kejutan ulang tahunnya dek intan,”
        ungkap kakak
“ Loh! ulang tahunku kan tanggal 16 Desember.” Ucapku
Keadaan yang semula sangat ramai berubah menjadi hening dan semua mata tertuju padaku.
 “ Berarti ini kejutan yang salah waktu dong.” Ungkap salah satu anak yang berada disitu.
Semua tertawa terbahak bahak dan mencoba menahan rasa malu
yang dideritanya terutama kakakku. Puji syukur tak lupaku panjatkankepada Allah SWT, karena telah memberikanku kesempatan untuk menikmati indahnya dunia diantara orang-orang yang selama ini menyayangiku.
               Tak lupa kuucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada kakakku dan teman-temannya karena mereka sudah menyempatkan waktu luangnya untukku.Setelah itu mereka berpamitan untuk pergi meninggalkan rumahku, kemudian aku segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu tidur dengan hati yang sangat senang. Di atas kasur aku masih terbayang suasana-suasana menyenangkan yang tak akan kulupakan.
Aku pun masih merasa aku hanyalah seorang gadis kecil yang masih sangat butuh bantuan dari banyak pihak, yang hidup masih mengandalkan orang tua, yang masih menumpang tinggal dirumah orang tua, dan masih meminta uang jajan setiap harinya dari orang tua pula. Aku masih merasa menjadi gadis manja, yang sedang mencoba menjadi sosok yang lebih dewasa.
Dan malam itu telah ku niatkan, untuk selalu bersyukur dan mencoba berubah menjadi sosok yanng lebih baik untuk kedepannya. Meskipun ini kejutan ulang tahun yang salah waktu, setidaknya mereka sudah memperhatikan dan menyempatkan waktunya untukku.



Hasil gambar untuk sahabat kecil

Ingatlah kita selalu bersama
Namun apakah kebersamaan ini terus berjalan ?
Tak pernah terpungkiri
Akhirnya kau meninggalkanku dengan sosok bayangmu
Namun kita tetap satu dalam hati dan cinta

Mungkin inilah suratan garis kehidupan yang harus aku jalani
Andai kau tahu
Hari demi hari
Rasa sayang ini enggan untuk berlari
Itu semua terus berlanjut hingga aku tak disampingmu lagi
Sahabat, kehadiranmu sungguh berarti
Seperti jalinan warna dalam indahnya pelangi
Akan kukenang hingga akhir hayat nanti