Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia
optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya,
jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000
tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain
sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga
siap dipacu.
Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah.
Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat
pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda
dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu
Hurairah.
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000
orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan
lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk
memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam
mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang
dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan
yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap
sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian
takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur
sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena
jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena
hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”
Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita
tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan.
Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan
kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga
terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.
Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar
terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin
Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah
dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini
menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di
tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:
Duhai dekatnya surga
Harum dan dingin minumannya
Orang Romawi telah dekat dengan azabnya
Mereka kafir dan jauh nasabnya
Jika bertemu, aku harus membunuhnya
Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh
atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi
demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika
mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan
kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam
dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan
menemui syahidnya.
Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur
pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang
yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian
belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan
membuatnya terbang kemanapun dia suka.
Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil
tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada
kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa
sendiri keberanian di dalam hatinya:
Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!
Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa
Bila manusia bersemangat dan bersuara
Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga
Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada
kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang
Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua
jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:
Wahai jiwaku
Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati
Ini adalah takdir kan telah kau hadapi
Jika kamu bernasib seperti mereka berdua
Berarti kamu mendapat hidayah
Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini
memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang
ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam
perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan,
risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu
menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!
Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena
fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya.
Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus
kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang.
Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih
strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.
Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah
dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan
dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah
menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.
Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan,
betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan
galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu
mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang
dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan
akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!”
Wallahu a’lam bi shawab.
Sumber : www.kisahinspirasi.com/2012/09/takut-itu-wajar.html